
Mensyukuri Hari Kemerdekaan
Mensyukuri Hari Kemerdekaan
Khutbah Jum’at, 11 Agustus 2023
Ustadz Abu Umar
Hari ini kita berada di bulan yang di dalamnya diperingati deklarasi kemerdekaan bangsa kita dari penjajah Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Penjajahan merupakan salah satu bentuk kedzaliman yang akan menjadi kegelapan pada hari kiamat. Sedangkan kemerdekaan ini merupakan nikmat terlepas dari kedzaliman yang wajib disyukuri oleh seluruh kaum muslimin.
Beberapa saat yang lalu, di negeri Belanda, terjadi perdebatan di dalam majlis nasional mereka, bahwa mereka hendak meminta dana kepada Indonesia dengan alasan dahulu warga Indonesia ketika dijajah itu mayoritasnya “enjoy”. Layaknya hal ini terjadi pada spanyol atau Andalusia di masa lalu, para politisi mengatakan bahwa islam menjajah Spanyol, tetapi para sejarawan menyatakan bahwa islam bukan menjajah tapi memakmurkan Spanyol, jadi bukan penjajahan.
Jadi apa pengertian kemerdekaan jika kita melihat dari persepektif warga negara muslim? Kemerdekaan berarti kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya tanpa halangan apa pun. Jika Belanda menganggap warga Indonesia banyak yang senang untuk dijajah, maka yang mana?
Karena kenyataan meskipun kaum muslimin boleh beribadah di masa Belanda. Namun Belanda berperan besar dalam menciptakan pemahaman islam yang salah, dan membentuk kelompok-kelompok dan aliran yang menyimpang di bawah asuhan Mufti Belanda yaitu Snouck Hurgronje. Dilihat dari pengertian ini maka dapat kita simpulkan bahwa para nabi juga pejuang kemerdekaan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bagaimana kondisi saat tertindasnya kaum muslimin di Makkah waktu itu. Sampai akhirnya hijrah dan Makkah kembali ke tangan kaum muslimin saat fathu makkah.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, memerdekakan diri dari kaumnya, para pemuka atau pimpinan bangsanya sendiri, bukan dari penindasan negara lain.
Nabi Musa ‘alaihis salam, beliau berjuang memerdekakan bangsa Israel dari penindasan Fir’aun.
Nabi Nuh ‘alaihis salam, bekerja keras selama 950 tahun mengajak kaumnya agar mereka tidak menjadi budak dari tuhan-tuhan palsu yang mereka buat sendiri, berupa patung tokoh-tokoh terkemuka mereka, yaitu Waad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.
Sedangkan Nabi Luth ‘alaihis salam, berjuang untuk membebaskan kaumnya dari gaya hidup yang sangat menyimpang dari fithrah yaitu, homoseksualitas, dan ini bukan perjuangan yang ringan.
Adapun Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, berjuang keras untuk membebaskan atau memerdekakan kaumnya dari penyembahan kepada berhala dan dari praktek perdagangan yang sangat merugikan masyarakat, yaitu suka memanipulasi timbangan.
Allah Ta’ala menggambarkan perjuangan para nabi ini terpatri dalam firman-Nya,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Maka sungguh suatu kesalahan, jika kemerdekaan dimaknai sebagai bentuk kebebasan tanpa batas. Karena hal ini berarti telah kembali kepada penjajahan baru, Allah ta’ala berfirman:
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Maka hendaklah diri kita takut kepada Allah, dari berbuat kekufuran, berupa mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang bertentangan denga ketentuan Allah. Ingatlah tatkala Nabi Musa ‘alaihis salam berusaha memerdekakan kaumnya, apa yang sebagian mereka katakan:
{ وَإِذۡ قُلۡتُمۡ یَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامࣲ وَ ٰحِدࣲ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ یُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَاۖ قَالَ أَتَسۡتَبۡدِلُونَ ٱلَّذِی هُوَ أَدۡنَىٰ بِٱلَّذِی هُوَ خَیۡرٌۚ ٱهۡبِطُوا۟ مِصۡرࣰا فَإِنَّ لَكُم مَّا سَأَلۡتُمۡۗ وَضُرِبَتۡ عَلَیۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡكَنَةُ وَبَاۤءُو بِغَضَبࣲ مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَ ٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُوا۟ یَكۡفُرُونَ بِـَٔایَـٰتِ ٱللَّهِ وَیَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِیِّـۧنَ بِغَیۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَ ٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ یَعۡتَدُونَ }
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah.” Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang lebih rendah sebagai ganti dari sesuatu yang lebih baik? Pergilah ke mesir , pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 61)
Dalam rangka mengisi kemerdekaan ini, mari kita mengingat firman Allah ta’ala:
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Beramallah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (QS. Saba’: 13)
Kemerdekaan yang dinikmati oleh Bani Israil berupa berdirinya negara mereka dengan raja mereka Dawud, Allah perintahkan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan dengan menuntut ilmu dan beramal sesuai dengan tuntunan Allah. Jika hal ini dilakukan, maka ini adalah bentuk syukur akan kemerdekaan mereka. Maka hal terbaik dalam mengisi kemerdekaan tidak lain adalah menuntut ilmu dan mendakwahkan penyembahan kepada Allah dengan pemahaman yang benar.
Bagaimana merawat kemerdekaan ini? Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)
Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullahu saat menerangkan ayat ini mengatakan,
“dan diantara bentuk siksa-Nya, adalah Allah akan melenyapkan nikmat yang telah Allah curahkan dari mereka. Bersyukur hakikatnya adalah pengakuan hati terhadap nikmat-nikmat Allah dan menyanjung Allah karenanya, serta mempergunakannya dalam keridhaan Allah. Sementara kufur terhadap nikmat Allah mempunyai pengertian yang berlawanan dengannya”
Demikian ringkasan khutbah ini kami sampaikan, semoga dapat memberikan manfaat dan barakah bagi yang membacanya.